Di suatu hutan rimba, hiduplah keluarga petani. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan 1 anak laki-laki. Setiap hari ayah dan ibu menggantungkan hidupnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berkebun. Mereka merawat kebun kopi dan sayuran. Sang ibu memberi tugas kepada anaknya untuk mencari kayu. Dengan keadaan yang sangat sederhana, mereka jalani kehidupan dengan penuh suka cita.
Pagi yang begitu cerah sang ibu telah selesai mempersiapkan sarapan untuk sekeluarga."Nak, cepat ambil sarapannya, nanti keburu siang, ibu dan ayah mau kekebun juga"...Seru sang ibu."ya bu..." jawab sang anak sambil bergegas setelah memberi makan kambing mereka. Setelah menyelesaikan sarapan, sang anak mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan ketika akan mencari kayu bakar di hutan. Ayah, ibu dan anak berangkat dengan arah yang sama. Setibanya di kebun, ibu dan bapak segera memulai pekerjaan mereka dan sang anak berjalan kembali menuju hutan rimba yang tak jauh dari kebun mereka, karena di sanalah tersedia banyak kayu yang ia cari.
Setibanya di hutan, sang anak melihat kanan kiri, sesekali melihat keatas pohon, sambil mengais dahan dan ranting kering yang telah jatuh dari pohonnya. Ada sesuatu yang menarik perhatian sang anak ketika melihat ke atas pohon yang cukup besar, yaitu ada beberapa dahan yang telah kering, yang masih tersangkut di atas pohon. Dia berusaha untuk memanjat pohon tersebut, dengan harapan dapat menjatuhkan ranting-ranting kering tersebut sehingga dapat diperolehnya kayu bakar yang banyak dan segera pulang.
Dengan susah payah sang anak memanjat pohon tersebut, karena besarnya pohon tersebut hampir saja pohon itu tak mampu ia dekap. Tapi tetap saja dia berusaha, hingga sampai kesebuah ranting yang dirasa kuat untuk ia hinggapi. Beberapa ranting kering berhasil ia jatuhkan. Satu lagi pemendangan yang membuatnya tertarik dan kali ini membuatnya penasaran. Ia melihat sebuah sarang yang besarnya sama seperti sarang ayam yang letaknya lebih tinggi dari tempat dimana dia berdiri. dengan penuh rasa penasaran, dia mencoba mendekati sarang tersebut. Begitu senangnya karena dua buah telur sebesar telur ayam berada di tengah sangkar. Tak lama berpikir, kemudian sang anak mengambil telur tersebut dan segera menuruni pohon dengan penuh hati-hati. Setelah dahan-dahan yang panjang ia potong agar mudah dibawa pulang, dia mengikat kayu-kayu dan berjalan ke arah pulang.
"Bu...bu...!liat apa yang aku bawa ini?" teriak anak itu setelah tiba di halaman rumah. "Apa itu nak?". Suara ibunya terdengar dari dalam dapur."Aku bawa telur bu...""telur apa itu nak" Ibunya keluar dapur sambil menghampiri sang anak." Sepertinya sih telur burung bu." Dengan semangat sang anak menunjukkan telur-telur yang ia bawa. "Ibu lagi masak?" tanya sang anak."Iya nak" jawab sang ibu. "Kebetulan bu, aku mau minta tolong ibu gerengkan satu telur ini dan satu telur lagi akan aku titipkan dengan induk ayam kita yang sedang mengeram". Tegas sang anak dengan penuh semangat dan segera membawa 1 buah telur kedalam kandang ayam yang letaknya bersebelahan dengan dapur.
Hari ke hari sang anak menunggu telur-telur itu menetas dengan penasaran. Tiba saatnya pada hari ke-21 telur-telur ayam menetas, tapi 1 telur yang dibawanya dari hutan yang ukurannya sedikit lebih besar dengan cangkang yang kelihatannya lebih tebal tak kunjung menetas. Rasa penasaran bercampur khawatir seandainya telur itu tidak dapat menetas menghantui hati sang anak. Dengan penuh pengharapan setiap hari telur yang belum kunjung menetas itu diperhatikannya. Begitu gembiranya dia pada hari ke-30 1 telur terakhir pun menetas. Dia memberitahukan peristiwa itu kepada ibunya, dan ibunya pun turut senang melihat kegirangan anaknya.
Setiap pagi anak itu memberi makan ayam-ayamnya dengan penuh kasih sayang. Terlebih lagi kepada anak ayam, eh anak burung maksudnya...yang diasuh oleh induk ayam. Satu sisi anak burung senang bermain bersama saudara-saudaranya. Disisi lain terkadang dia merasa ada keanehan. Dia merasa bahwa dia berbeda sekali dengan saudara-saudaranya. Paruhnya lebih kuat, kuku dan cengkraman jarinya lebih tajam dan bahunya lebih kekar. Seperti hari-hari biasanya ketika sang anak burung bermain, dia melihat ke angkasa seekor burung elang dewasa terbang kian kemari, menghinggapi pohon-pohon besar dan tebing-tebing curam. Dalam benak dia berpikir"apakah aku seperti itu?". Dia mulai belajar mengepakkan sayapnya dari pohon yang rendah kepohon yang lain. Sesekali dia terjatuh. Semakin kuat rasa penasaran dan keinginan untuk bisa terbang seperti elang yang pernah ia lihat.
Semakin lama semakin pandai sang anak burung melakukan
manuver sama persis dengan pemandangan yang pernah ia lihat dan kali ini dia merasa bahwa dirinya adalah sebenarnya
seekor elang . Dari kisah ini dapat kita ambil hikmah, bahwa bagaimanapun latar belakang keluarga kita, siapapun yang mendidik dan membesarkan kita, apapun metode yang digunakan untuk mengajar dan mendidik kita, bukan suatu kepastian bahwa kita akan seperti mereka juga."
Ketika kita merasa bahwa kita sebenarnya adalah orang yang mempunyai potensi yang luar biasa, dengan melihat dan mencontoh perilaku orang-orang besar, yakinlah bahwa suatu saat kita juga akan menjadi orang besar, karena kita telah terlahir sebagai orang yang memiliki jiwa dan semangat besar".
Sebuah kisah yang inspiratif dan motivatif. Terima kasih tulisannya mas.
ReplyDeletesama2 mas. kalau ada kritik dan saran pada blog saya, diterima dengan senang hati.
ReplyDelete